MENU

Sabtu, 13 April 2013

STUDI TOKOH PENDIDIKAN ISLAM


Oleh : AHMAD WAGITO
NIM : 110035

K.H IMAM ZARKASYI
A.  PENDAHULUAN
Di pulau Jawa terdapat ribuan pondok pesantren yang sebagian besar bersifat tradisional, baik dalam visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi pembelajaran, maupun kompetensi gurunya. Lembaga pendidikan pesantren yang demikian itu hanya mampu menghasilkan ulama’ ahli ilmu agama, namun kurang mampu menjawab tantangan masyarakat modern dan tridak dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa secara utuh.
KH. Imam Zarkasyi sebagai ulama’ jebolan dalam negeri telah mencurahkan segenap perhatiannya untuk mengatasi masalah pendidikan tersebut, dengan menggunakan pondok pesantren Gontor Ponorogo sebagai tempat eksperimen. Hasil eksperimennya ini ternyata cukup berhasil dan diakui oleh dunia Islam.
Lulusan pondok modern Gontor Darussalam yang dipimpinnya memiliki kemampuan berbahasa Arab yang baik, sehingga dapat diterima di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir tanpa testing. Mereka juga ditempa untuk menjadi orang yang ikhlas, sederhana, mandiri, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan berjiwa bebas. Selain memiliki mental yang tangguh itu, para lulusan pondok modern Gontor ini juga memiliki bekal keterampilan dalam mendapatkan kehidupan.
Berkat konsep-konsepnya yang dinilai relevan untuk diterapkan pada lembaga pendidikan lainnya, maka Imam Zarkasyi mendapatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya kepada dunia pendidikan.

B.  RIWAYAT HIDUP
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal pada tanggal 30 Maret 1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.[1]
Ayahnya bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluarga elit Jawa yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan Pondok Gontor Lama dan generasi kelima dari Pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan Kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan Bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegara).[2]
Sejak usia kanak-kanak Imam Zarkasyi sudah hidup sebagai anak yatim, karena saat ia berusia delapan tahun ayahnya meninggal dunia. Tidak lama kemudian ibunya juga meninggal yaitu pada tahun 1920.
Kemudian Imam Zarkasyi mulai belajar agama (mondok) di Pesantren Joresan. Karena proses belajar di Pesantren diselenggarakan pada sore hari, maka di pagi harinya ia belajar Sekolah Desa Nglumpang. Adapun kitab yang diajarkan di Pesantren tersebut diantaranya adalah Ta’lim al-Muta’allim, al-Sullam, Safinah al-Najah dan al-Taqrib.
Tiga tahun kemudian, ia melanjutkan pendidikan umumnya di Sekolah Ongko Loro Jeris dengan masa belajar 2 tahun. Kemudian melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu bersamaan ia belajar di sekolah Mambaul Ulum. Dan masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH. Al-Hasyimi, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut, terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah, ia sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatra Barat sampai tahun 1935.
Pada tahun 1936, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Pada tahun itu juga genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, beliau segera memperkenalkan program pendidikan baru yang ia beri judul Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dimana beliau sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Pengalaman belajar yang beragam yang didukung oleh kecerdasan dan kesungguhannya, menyebabkan Imam Zarkasyi tampil dengan tingkat penguasaan yang memadai dalam berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum.
Setelah merasa memiliki bekal yang agak memadai, Imam Zarkasyi selain mengabdikan dirinya untuk bidang pendidikan, juga untuk bidang kegiatan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Misalnya pada tahun 1943 beliau diminta untuk menjadi kepala Kantor Agama Karesidenan Mediun. Setelah Indonesia merdeka, beliau turut aktif membina Departemen Agama RI, khususnya pada Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu mentrinya H.M.Rosyidi. selain itu tenaga keahliannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada saat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah dasar Kementerian Agama (1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu, pada tahun 1959, ia juga diangkat sebagai Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno.
Disamping sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga adalah seorang ulama’ yang produktif dalam bidang tulis menulis. Diantara karya beliau adalah; Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama islam, Usuluddin, Pelajaran fiqh I dan II, Bimbingan Keimanan, Pelajaran Bahasa Arab I dan II, serta buku-buku pelajaran lainnya. Juga menulis beberapa petunjuk teknis bagi para santri dan guru di Pondok Modern Darussalam, Gontor, dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di Pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya itu selain digunakan di KMI Gontor, juga di pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor dan sekolah-sekolah lainnya.
Dengan membaca riwayat hidup Imam Zarkasyi, ada beberapa catatan menarik,
1.      Dilihat dari segi tempatnya menuntut ilmu, beliau adalah ulama’ yang sepenuhnya lulusan dalam negeri. Keberhasilan beliau menjadi ulama’ yang disegani menunjukkan bahwa pendidikan dalam negeri tidak kalah dengan pendidikan yang dilaksanakan di luar negeri.
2.      Dilihat dari segi aktivitasnya, beliau tidak hanya aktif di kalangan dunia pesantren saja, melainkan juga dalam dunia diplomasi dan kenegaraan. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah ulama’ yang mampu berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat.
3.      Dilihat dari segi buku-buku yang dikarangnya, sebagaian besar berbicara tentang dunia pendidikan dan pengajaran. Ini menunjukkan bahwa keahliannya dalam bidang pendidikan itu lebih kuat jika dibandingkan dengan keahliannya dalam bidang lainnya.

C.  PEMIKIRAN
Nama Imam Zarkasyi tidak dapat dipisahkan dengan perannya dalam bidang pendidikan. Aktivitasnya dalam bidang pendidikan akan mendorong lahirnya gagasan di bidang pendidikan dan sekaligus mempraktikannya.
1.    Pengelolaan Madrasah
Tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan madrasah harus diserahkan kepada ahlinya. Dalam hal ini yang paling tepat diserahkan tanggung jawab adalah Departemen Agama, sebab menteri agamalah yang lebih tahu tentang seluk beluk pendidikan agama, bukan menteri Pendidikan dan kebudayaan atau menteri yang lainnya.[3]
Tetapi pada prakteknya bahwa madrasah tetap dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dikarenakan pada hakikatnya Departemen Agama itu bukan departemen yang mengelola pendidikan. Sedangkan madrasah meskipun memakai istilah berbahasa arab pada hakikatnya lembaga pendidikan. Ini juga didasarkan pada fakta adanya madrasah yang terbengkalai dan amburadul dalam segala aspeknya. Gedung reot, lingkungan kumuh, lulusan kurang bermutu dan lain-lain.
Kemudian diganti dengan melakukan perbaikan kurikulum madrasah yang diatur dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Sebagai tindak lanjutnya dibentuklah tim kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri yang kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan SKB Tiga Menteri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan dan Madrasah  yang ditandatangani pada 24 Maret 1974.
2.    Pembaruan Pesantren
a.    Tujuan Pendidikan
Salah satu kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Pendidikan berjalan hanya mengikuti arus keahlian kiai.[4]
Kemudian beliau merumuskan tujuan pesantren adalah

b.    Kurikulum Pendidikan
Dalam kurikulum pesantren tradisional hanya mengajarkan pengetahuan agama, sehingga lulusannya tidak dapat memasuki lapangan kerja yang mensyaratkan memiliki pengetahuan umum, penguasaan teknologi dan keterampilan.
Imam Zarkasyi menerapkan kurikulum di pondok pesantren yang diasuhnya yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) dengan 100% umum dan 100% agama. Disamping pelajaran tafsir, hadits, fiqh, usul fiqh yang biasa diajarkan di pesantren tradisional, juga ditambah pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya.[5] Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa arab dan bahasa inggris.
Selain itu juga diberikan pula pelajaran keterampilan, seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
c.    Metode Pengajaran Bahasa
Dalam bidang metodologi pengajaran, pesantren tradisional kurang dapat memberdayakan lulusannya. Para pelajar pesantren tradisional (santri) diajari berbagai macam ilmu bahasa Arab dengan susah payah dan menjelimet, tapi mereka tidak dapat berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. Mereka terlihat minder dan kurang memiliki rasa percaya diri.
Didasarkan atas ketidak puasan beliau melihat metode pengajaran bahasa yang demikian itu maka beliau mempunyai gagasan bahwa hal tersebut bisa ditempuh dengan metode langsung (direct method) dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dalam pengajarannya beliau menerapkan semboyan “ALKALIMATUL WAHIDAH FI ALFI JUMLATIN KHOIRUN MIN ALFI KALIMATIN FI JUMLATIN WAHIDAH” (kemampuan menggunakan satu kata dalam seribu kalimat lebih baik dari pada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja)[6]
d.   Ketangguhan Mental
Ketangguhan mental artinya keadaan jiwa yang tegar menghadapi berbagai keadaan dalam kehidupan. Bergabai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tanpa ditopang oleh jiwa yang tegar kurang membawa hasil yang baik.
Imam Zarkasyi berupaya merumuskan sikap mental yang tangguh yang disebut Panca Jiwa Pondok yaitu:
1)   Keihlasan
Jiwa ikhlas (sepi ing pamrih) yaitu sikap yang dalam melakukan pekerjaan bukan karena keuntungan-keuntungan tertentu melainkan semata-mata karena Allah SWT.
2)   Kesederhanaan
Yaitu sikapdan tutur kata yang tidak berlebihan , apa adanya tanpa merasa rendah diri, berani menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur.
3)   Berdikari
Berdikari (kesanggupan menolong diri sendiri) bukan saja harus berlatih mengurus segala kepentingan diri sendiri, melainkan juga sikap yang tidak menggantungkan diri atau meminta bantuan kepada orang lain.
4)   Ukhuwah Islamiyah
Yaitu sikap yang merasa bersahabat dan akrab dengan sesame teman tanpa mengenal perbedaan latar belakang status sosial.
5)   Bebas
Yaitu sikap yang merasa bebas berfikir dan berbuat, bebas menentukan masa depan dan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi berbagai tantangan.
Secara formal, pendidikan mental disajikan dalam mata pelajaran mahfudzot (hafalan), tafsir (petikan ayat-ayat), dan hadits (pilihan). Tiga mata pelajaran ini merupakan sarana untuk menanamkan falsafah hidup, kayakinan hidup, dasar hidup, kekuatan mental, serta keluhuran budi. Diluar tiga mata pelajaran itu, pendidikan nilai ditanamkan dalam berbagai situasi kehidupan didalam pondok.
e.    Pembaruan Manajemen Pesantren
Dalam bidang manajemen, pesantren tradisional menerapkan sistem manajemen yang sentralistik, tertutup, emosional dan tidak demokratis. Semua hal yang berkaitan dengan pengaturan pesantren sepenuhnya berada di tangan kiai yang memiliki otoritas penuh sampai ia merasa tidak sanggup lagi, atau meninggal dunia.
Keadaan manajemen yang demikian itu dipandang tidak sesuai lagi dengan alam modern yang menuntut pelaksanaan demokratisasi, trancparanci, akuntabilitas dan kebersamaan. Manajemen pesantren yang bercorak kekeluargaan dan sepenuhnya di tangan kiai itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila kiainya seorang yang memiliki kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau bekerja keras,adil dan demokratis. Namun sebaliknya, manajemen yang demikian itu bisa juga membawa kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan pas-pasan, malas, otoriter dan diktator.
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam yang tetap sesuai perkembangan zaman, Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan PMDG kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan dimuka umum oleh ketiga pendiri tersebut.  Dengan ditandatangani piagam penyerahan wakaf itu, maka PMDG menjadi milik umat Islam, dan semua umat islam bertanggung jawab atasnya.
Berdasarkan pada struktur organisasi yang demikian itu, maka kiai dan keluarga tidak memiliki hak material apa pun dari Gontor. Kiai dan guru juga tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Dengan manajemen tersebut, maka ketergantungan pesantren pada satu tokoh tidak ada lagi. Lembaga Pendidikan dapat berjalan hingga waktu yang tidak ditentukan tanpa harus kehilangan kepemimpinan.
f.     Independensi Pesantren
Keberadaan Lembaga Pendidikan pesantren pada umumnya dibawah organisasi keagamaan tertentu. Jika organisasi tersebut memihak pada salah satu partai maka Lembaga Pendidikan yang ada dibawahnya menjadi bagian dari dari kepentingan parpol tertentu. Terkadang Lembaga Pendidikan tersebut mendapat bantuan (subsidi) untuk pembangunan gedung, penyedian sarana pendidikan dan sebagainya. Dengan tujuan antara lain agar guru, siswa serta simpatisan lembaga pendidikan tersebut mendukung kemenangan partai yang memberikan bantuan tersebut. Dengan demikian, Lembaga Pendidikan tersebut tidak lagi independen.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Gontor, bahwa setiap santri yang belajar di PMDG ditanamkan jiwa berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus kepentingannya sendiri serta bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan yang harus tetap independen dan tidak bergantung pada pihak lain.
Gagasan independensi Imam Zarkasyi tersebut direalisasikan dengan menciptakan PMDG yang benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan: Gontor di atas dan untuk semua golongan.
Hal ini merupakan salah satu bukti, dimana paham keagamaan para santri berada di atas aliran politik, mazhab dan golongan apap pun. Semua mazhab diajarkan kepada para santri, tinggal terserah mereka mau memilih mazhab mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan misalnya, para santri bebas dalam arti mau membaca qunut silakan, dan tidak membacanya juga tidak apa-apa.

D.  ANALISIS
1.    Imam Zarkasyi adalah sesosok ulama’ yang sangat disegani karena berbakat, cerdas dan rajin menuntut ilmu dan beliau juga termasuk dari keluarga yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
2.    Dari latar belakang pendidikannya serta karya-karya tulisnya dan kiprah yang dilakukannya, beliau sangat menaruh perhatiannya terhadap kemajuan pendidikan Islam.
3.    Pendapat Imam Zarkasyi tentang pengelolaan madrasah itu menunjukkan kepedulian dan keprihatinan terhadap madrasah. Ia ingin agar madrasah dapat tumbuh, berkembang dan maju sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Sehingga akan tercipta madrasah yang bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan agama, namun juga mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain.
4.    Berbagai pengalamannya dalam memajukan pendidikan telah mendorong Imam Zarkasyi memeras otak, mencari trobosan baru dalam bidang pendidikan Islam. Trobosan baru ini ia wujudkan hampir pada seluruh aspek pendidikan; tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, serta sikap mental yang tangguh.

E.  DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Jajat dan Baidowi, Ahmad. Transformasi Otoritas Keagamaan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Herry Noer Aly, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).

I.Djumhur dan H.Danasaputra. Sejarah pendidikan. (Bandung: CV. Ilmu, 1976).

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).

Yunus, Mahmud. Sejarah PendidikanIslam di Indonesia. (Jakarta: Mutiara, 1979).


[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal.195.
[2] Herry Noer Aly, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.145.
[3] Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baidowi. Transformasi Otoritas Keagamaan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003),hal.152.
[4] Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baidowi. Op.Cit, hal.154.
[5] Mahmud Yunus. Sejarah PendidikanIslam di Indonesia. (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm.251.
[6] I.Djumhur dan H.Danasaputra. Sejarah pendidikan. (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hlm.193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar