Oleh : AHMAD WAGITO
NIM : 110035
K.H IMAM ZARKASYI
A.
PENDAHULUAN
Di pulau Jawa terdapat ribuan pondok pesantren yang sebagian besar
bersifat tradisional, baik dalam visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi
pembelajaran, maupun kompetensi gurunya. Lembaga pendidikan pesantren yang
demikian itu hanya mampu menghasilkan ulama’ ahli ilmu agama, namun kurang
mampu menjawab tantangan masyarakat modern dan tridak dapat mengangkat harkat
dan martabat bangsa secara utuh.
KH. Imam Zarkasyi sebagai ulama’ jebolan dalam negeri telah
mencurahkan segenap perhatiannya untuk mengatasi masalah pendidikan tersebut,
dengan menggunakan pondok pesantren Gontor Ponorogo sebagai tempat eksperimen.
Hasil eksperimennya ini ternyata cukup berhasil dan diakui oleh dunia Islam.
Lulusan pondok modern Gontor Darussalam yang dipimpinnya memiliki
kemampuan berbahasa Arab yang baik, sehingga dapat diterima di Universitas
Al-Azhar Kairo Mesir tanpa testing. Mereka juga ditempa untuk menjadi orang
yang ikhlas, sederhana, mandiri, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan berjiwa
bebas. Selain memiliki mental yang tangguh itu, para lulusan pondok modern
Gontor ini juga memiliki bekal keterampilan dalam mendapatkan kehidupan.
Berkat konsep-konsepnya yang dinilai relevan untuk diterapkan pada
lembaga pendidikan lainnya, maka Imam Zarkasyi mendapatkan berbagai kesempatan
untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya kepada dunia pendidikan.
B.
RIWAYAT HIDUP
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada
tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal pada tanggal 30 Maret 1985 dengan
meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.[1]
Ayahnya bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluarga elit
Jawa yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan Pondok
Gontor Lama dan generasi kelima dari Pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra
Sultan Kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan Bupati
Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan
(Mangkunegara).[2]
Sejak usia kanak-kanak Imam Zarkasyi sudah hidup sebagai anak
yatim, karena saat ia berusia delapan tahun ayahnya meninggal dunia. Tidak lama
kemudian ibunya juga meninggal yaitu pada tahun 1920.
Kemudian Imam Zarkasyi mulai belajar agama (mondok) di
Pesantren Joresan. Karena proses belajar di Pesantren diselenggarakan pada sore
hari, maka di pagi harinya ia belajar Sekolah Desa Nglumpang. Adapun kitab yang
diajarkan di Pesantren tersebut diantaranya adalah Ta’lim al-Muta’allim,
al-Sullam, Safinah al-Najah dan al-Taqrib.
Tiga tahun kemudian, ia melanjutkan pendidikan umumnya di Sekolah
Ongko Loro Jeris dengan masa belajar 2 tahun. Kemudian melanjutkan studinya di
Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu bersamaan ia belajar di sekolah
Mambaul Ulum. Dan masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di
Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH. Al-Hasyimi, sampai tahun 1930.
Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut, terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah,
ia sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke
Kweekschool di Padang Panjang, Sumatra Barat sampai tahun 1935.
Pada tahun 1936, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Pada tahun itu
juga genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga
pendidikan dengan gaya baru, beliau segera memperkenalkan program pendidikan
baru yang ia beri judul Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dimana
beliau sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Pengalaman belajar yang beragam yang didukung oleh kecerdasan dan
kesungguhannya, menyebabkan Imam Zarkasyi tampil dengan tingkat penguasaan yang
memadai dalam berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum.
Setelah merasa memiliki bekal yang agak memadai, Imam Zarkasyi
selain mengabdikan dirinya untuk bidang pendidikan, juga untuk bidang kegiatan
sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Misalnya pada tahun 1943 beliau diminta
untuk menjadi kepala Kantor Agama Karesidenan Mediun. Setelah Indonesia
merdeka, beliau turut aktif membina Departemen Agama RI, khususnya pada
Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu mentrinya H.M.Rosyidi. selain itu
tenaga keahliannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, pada saat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian
Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah dasar Kementerian Agama (1951-1953),
Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan
Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957).
Selain itu, pada tahun 1959, ia juga diangkat sebagai Anggota Dewan Perancang
Nasional oleh Presiden Soekarno.
Disamping sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan
politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga adalah seorang ulama’ yang produktif
dalam bidang tulis menulis. Diantara karya beliau adalah; Senjata Penganjur
dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama islam, Usuluddin,
Pelajaran fiqh I dan II, Bimbingan Keimanan, Pelajaran Bahasa Arab I dan II, serta
buku-buku pelajaran lainnya. Juga menulis beberapa petunjuk teknis bagi para
santri dan guru di Pondok Modern Darussalam, Gontor, dalam berbagai masalah
yang berkaitan dengan pendidikan di Pesantren tersebut, termasuk metode
mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya itu selain digunakan di
KMI Gontor, juga di pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor
dan sekolah-sekolah lainnya.
Dengan membaca riwayat hidup Imam Zarkasyi, ada beberapa catatan
menarik,
1.
Dilihat dari segi tempatnya menuntut ilmu, beliau adalah ulama’
yang sepenuhnya lulusan dalam negeri. Keberhasilan beliau menjadi ulama’ yang
disegani menunjukkan bahwa pendidikan dalam negeri tidak kalah dengan
pendidikan yang dilaksanakan di luar negeri.
2.
Dilihat dari segi aktivitasnya, beliau tidak hanya aktif di
kalangan dunia pesantren saja, melainkan juga dalam dunia diplomasi dan
kenegaraan. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah ulama’ yang mampu berkomunikasi
dengan seluruh lapisan masyarakat.
3.
Dilihat dari segi buku-buku yang dikarangnya, sebagaian besar
berbicara tentang dunia pendidikan dan pengajaran. Ini menunjukkan bahwa
keahliannya dalam bidang pendidikan itu lebih kuat jika dibandingkan dengan
keahliannya dalam bidang lainnya.
C.
PEMIKIRAN
Nama Imam Zarkasyi tidak dapat dipisahkan dengan perannya dalam
bidang pendidikan. Aktivitasnya dalam bidang pendidikan akan mendorong lahirnya
gagasan di bidang pendidikan dan sekaligus mempraktikannya.
1.
Pengelolaan Madrasah
Tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan madrasah harus diserahkan
kepada ahlinya. Dalam hal ini yang paling tepat diserahkan tanggung jawab
adalah Departemen Agama, sebab menteri agamalah yang lebih tahu tentang seluk
beluk pendidikan agama, bukan menteri Pendidikan dan kebudayaan atau menteri
yang lainnya.[3]
Tetapi pada prakteknya bahwa madrasah tetap dibawah naungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dikarenakan pada hakikatnya Departemen
Agama itu bukan departemen yang mengelola pendidikan. Sedangkan madrasah
meskipun memakai istilah berbahasa arab pada hakikatnya lembaga pendidikan. Ini
juga didasarkan pada fakta adanya madrasah yang terbengkalai dan amburadul
dalam segala aspeknya. Gedung reot, lingkungan kumuh, lulusan kurang bermutu
dan lain-lain.
Kemudian diganti dengan melakukan perbaikan kurikulum madrasah yang
diatur dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Sebagai tindak lanjutnya
dibentuklah tim kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri yang kemudian melahirkan apa yang dikenal
dengan SKB Tiga Menteri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan dan Madrasah yang ditandatangani pada 24 Maret 1974.
2.
Pembaruan Pesantren
a.
Tujuan Pendidikan
Salah satu kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak adanya
tujuan pendidikan yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana
kerja atau program. Pendidikan berjalan hanya mengikuti arus keahlian kiai.[4]
Kemudian beliau merumuskan tujuan pesantren adalah
b.
Kurikulum Pendidikan
Dalam kurikulum pesantren tradisional hanya mengajarkan pengetahuan
agama, sehingga lulusannya tidak dapat memasuki lapangan kerja yang
mensyaratkan memiliki pengetahuan umum, penguasaan teknologi dan keterampilan.
Imam Zarkasyi menerapkan kurikulum di pondok pesantren yang
diasuhnya yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) dengan 100% umum dan
100% agama. Disamping pelajaran tafsir, hadits, fiqh, usul fiqh yang biasa
diajarkan di pesantren tradisional, juga ditambah pengetahuan umum, seperti
ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah,
tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya.[5]
Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi
karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa arab dan bahasa
inggris.
Selain itu juga diberikan pula pelajaran keterampilan, seperti menyablon,
mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
c.
Metode Pengajaran Bahasa
Dalam bidang metodologi pengajaran, pesantren tradisional kurang
dapat memberdayakan lulusannya. Para pelajar pesantren tradisional (santri)
diajari berbagai macam ilmu bahasa Arab dengan susah payah dan menjelimet, tapi
mereka tidak dapat berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. Mereka
terlihat minder dan kurang memiliki rasa percaya diri.
Didasarkan atas ketidak puasan beliau melihat metode pengajaran
bahasa yang demikian itu maka beliau mempunyai gagasan bahwa hal tersebut bisa
ditempuh dengan metode langsung (direct method) dengan cara memperbanyak
latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dalam pengajarannya beliau
menerapkan semboyan “ALKALIMATUL WAHIDAH FI ALFI JUMLATIN KHOIRUN MIN ALFI
KALIMATIN FI JUMLATIN WAHIDAH” (kemampuan menggunakan satu kata dalam
seribu kalimat lebih baik dari pada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam
satu kalimat saja)[6]
d.
Ketangguhan Mental
Ketangguhan mental artinya keadaan jiwa yang tegar menghadapi
berbagai keadaan dalam kehidupan. Bergabai ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki tanpa ditopang oleh jiwa yang tegar kurang membawa hasil yang
baik.
Imam Zarkasyi berupaya merumuskan sikap mental yang tangguh yang
disebut Panca Jiwa Pondok yaitu:
1)
Keihlasan
Jiwa ikhlas (sepi ing pamrih) yaitu sikap yang dalam
melakukan pekerjaan bukan karena keuntungan-keuntungan tertentu melainkan semata-mata
karena Allah SWT.
2)
Kesederhanaan
Yaitu sikapdan tutur kata yang tidak berlebihan , apa adanya tanpa
merasa rendah diri, berani menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur.
3)
Berdikari
Berdikari (kesanggupan menolong diri sendiri) bukan saja harus berlatih
mengurus segala kepentingan diri sendiri, melainkan juga sikap yang tidak
menggantungkan diri atau meminta bantuan kepada orang lain.
4)
Ukhuwah Islamiyah
Yaitu sikap yang merasa bersahabat dan akrab dengan sesame teman
tanpa mengenal perbedaan latar belakang status sosial.
5)
Bebas
Yaitu sikap yang merasa bebas berfikir dan berbuat, bebas
menentukan masa depan dan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar
dan optimis dalam menghadapi berbagai tantangan.
Secara formal, pendidikan mental disajikan dalam mata pelajaran
mahfudzot (hafalan), tafsir (petikan ayat-ayat), dan hadits (pilihan). Tiga
mata pelajaran ini merupakan sarana untuk menanamkan falsafah hidup, kayakinan
hidup, dasar hidup, kekuatan mental, serta keluhuran budi. Diluar tiga mata
pelajaran itu, pendidikan nilai ditanamkan dalam berbagai situasi kehidupan
didalam pondok.
e.
Pembaruan Manajemen Pesantren
Dalam bidang manajemen, pesantren tradisional menerapkan sistem
manajemen yang sentralistik, tertutup, emosional dan tidak demokratis. Semua
hal yang berkaitan dengan pengaturan pesantren sepenuhnya berada di tangan kiai
yang memiliki otoritas penuh sampai ia merasa tidak sanggup lagi, atau meninggal
dunia.
Keadaan manajemen yang demikian itu dipandang tidak sesuai lagi
dengan alam modern yang menuntut pelaksanaan demokratisasi, trancparanci,
akuntabilitas dan kebersamaan. Manajemen pesantren yang bercorak kekeluargaan
dan sepenuhnya di tangan kiai itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila
kiainya seorang yang memiliki kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau
bekerja keras,adil dan demokratis. Namun sebaliknya, manajemen yang demikian
itu bisa juga membawa kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan
pas-pasan, malas, otoriter dan diktator.
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam yang tetap sesuai
perkembangan zaman, Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan PMDG
kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar
pewakafan ini telah dinyatakan dimuka umum oleh ketiga pendiri tersebut. Dengan ditandatangani piagam penyerahan wakaf
itu, maka PMDG menjadi milik umat Islam, dan semua umat islam bertanggung jawab
atasnya.
Berdasarkan pada struktur organisasi yang demikian itu, maka kiai
dan keluarga tidak memiliki hak material apa pun dari Gontor. Kiai dan guru
juga tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang
mampu. Dengan manajemen tersebut, maka ketergantungan pesantren pada satu tokoh
tidak ada lagi. Lembaga Pendidikan dapat berjalan hingga waktu yang tidak
ditentukan tanpa harus kehilangan kepemimpinan.
f.
Independensi Pesantren
Keberadaan Lembaga Pendidikan pesantren pada umumnya dibawah
organisasi keagamaan tertentu. Jika organisasi tersebut memihak pada salah satu
partai maka Lembaga Pendidikan yang ada dibawahnya menjadi bagian dari dari
kepentingan parpol tertentu. Terkadang Lembaga Pendidikan tersebut mendapat
bantuan (subsidi) untuk pembangunan gedung, penyedian sarana pendidikan dan
sebagainya. Dengan tujuan antara lain agar guru, siswa serta simpatisan lembaga
pendidikan tersebut mendukung kemenangan partai yang memberikan bantuan
tersebut. Dengan demikian, Lembaga Pendidikan tersebut tidak lagi independen.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Gontor, bahwa setiap santri yang
belajar di PMDG ditanamkan jiwa berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja
berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus kepentingannya sendiri serta
bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok
pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan yang harus tetap independen
dan tidak bergantung pada pihak lain.
Gagasan independensi Imam Zarkasyi tersebut direalisasikan dengan
menciptakan PMDG yang benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan
apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan: Gontor
di atas dan untuk semua golongan.
Hal ini merupakan salah satu bukti, dimana paham keagamaan para
santri berada di atas aliran politik, mazhab dan golongan apap pun. Semua
mazhab diajarkan kepada para santri, tinggal terserah mereka mau memilih mazhab
mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering
diperdebatkan misalnya, para santri bebas dalam arti mau membaca qunut silakan,
dan tidak membacanya juga tidak apa-apa.
D.
ANALISIS
1.
Imam Zarkasyi adalah sesosok ulama’ yang sangat disegani karena
berbakat, cerdas dan rajin menuntut ilmu dan beliau juga termasuk dari keluarga
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
2.
Dari latar belakang pendidikannya serta karya-karya tulisnya dan
kiprah yang dilakukannya, beliau sangat menaruh perhatiannya terhadap kemajuan
pendidikan Islam.
3.
Pendapat Imam Zarkasyi tentang pengelolaan madrasah itu menunjukkan
kepedulian dan keprihatinan terhadap madrasah. Ia ingin agar madrasah dapat
tumbuh, berkembang dan maju sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Sehingga
akan tercipta madrasah yang bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan agama,
namun juga mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain.
4.
Berbagai pengalamannya dalam memajukan pendidikan telah mendorong
Imam Zarkasyi memeras otak, mencari trobosan baru dalam bidang pendidikan
Islam. Trobosan baru ini ia wujudkan hampir pada seluruh aspek pendidikan;
tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, serta sikap mental yang
tangguh.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin,
Jajat dan Baidowi, Ahmad. Transformasi Otoritas Keagamaan. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Herry
Noer Aly, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003).
I.Djumhur
dan H.Danasaputra. Sejarah pendidikan. (Bandung: CV. Ilmu, 1976).
Nata,
Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, cet. III. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Yunus, Mahmud. Sejarah
PendidikanIslam di Indonesia. (Jakarta: Mutiara, 1979).
[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hal.195.
[2] Herry Noer Aly, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.145.
[3] Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baidowi. Transformasi Otoritas
Keagamaan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003),hal.152.
[4] Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baidowi. Op.Cit, hal.154.
[5] Mahmud Yunus. Sejarah PendidikanIslam di Indonesia.
(Jakarta: Mutiara, 1979), hlm.251.
[6] I.Djumhur dan H.Danasaputra. Sejarah pendidikan. (Bandung:
CV. Ilmu, 1976), hlm.193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar