Oleh : AHMAD WAGITO
Makul : USHULFIQH
AL
– ISTISHHAB
(الإستصحاب)
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah
samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia
dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti
ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi
dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum
yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat
dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan
perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal
penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak
akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk
melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam
nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika
yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam
Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa
landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para
fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan
secara singkat dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Istishhab sebagai sumber hukum
Islam?
2.
Ada berapakah macam-macam Istishhab itu?
3.
Bagaimana kedudukan (kehujjahan) Istishhab
sebagai sumber hukum Islam?
4.
Bagaimana kaidah-kaidah Istishhab dalam ilmu Usul
Fiqh?
AL
– ISTISHHAB
(الإستصحاب)
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istishhab sebagai Sumber Hukum Islam
Istishhab
secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban
diambil dari “استفعال من
الصّحبة” yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari
hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Sedangkan
istishhab secara terminologi:
1. Ibnu Qoyyim
Aj-Jauziy mengistilahkan:
استدامة اثبات
ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
”Tetapnya
sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya
sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.“
2. Imam
Asy-Syaukani mengistilahkan:
الاستصحاب هو
بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
”Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah
ini bisa dipahami dengan makna: apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada
dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”
3. Ibnu Hazm
membuat definisi ishtishhab:
الاستصحاب هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم
الدّليل منها على التّغيير
”Tetapnya
hukum asal yang ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush
tersebut yang merubahnya.“
Dari beberapa pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa Istishhab
adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada
sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut. Misalnya:
1.
Orang yang telah hilang tetap
dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa
dia meninggal dunia.
2.
Seseorang yang telah menikah terus
dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka
telah bercerai, misalnya dengan talak.[1]
B. Macam-macam
Istishhab
Muhammad Abu
Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian:[2]
1.
Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah, dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut: seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at
bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan
kewajiban tersebut. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika
dia sudah baligh.
2.
Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih, yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun
membenarkan (menguatkan) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut. Contoh:
seperti dalam pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada
dalil yang menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
3.
Istishhab al-hukmi, bisa
dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang,
maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara
yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat
Allah Swt, berfirman: ”Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…” ( QS. 02:29 ) Maka
setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh sehingga ada
dalil yang melarangnya.
4.
Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat
asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada
dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi
air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna, rasa atau baunya.
C. Kedudukan
Istishhab sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang
kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus
yang dihadapi:
1.
Ulama Hanafiyah
Menetapkan bahwa istishhab itu dapat menjadi hujjah
untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda
(kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum
yang baru.
Dengan kata lain isthishhab itu adalah menjadi hujjah
untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat
hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah
ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2.
Ulama mutakallimin (ahli kalam, seperti Hassan Al-Bashri)
Bahwa istishhab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.[3]
Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama
pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan
mereka, mendasarkan hukum pada istishhab merupakan penetapan hukum tanpa dalil,
karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu
dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang
diperlakukan dalil lain.
Istishhab, menurut mereka
bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung
terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil, hal
ini tidak dibolehkan syara’.
3.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah
Bahwa istishhab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk
menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya. Alasan
mereka adalah sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada
adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni
(relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,
karena diduga keras belum ada perubahannya.
Menurut mereka, suatu dugaan
keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka
bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang
disyari’atkan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Akibat hukum perbedaan
kehujjahan istishab: Menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang
berhak Menerima pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya
ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga
harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya
diberikan kepada ahli waris lain.
Menurut ulama Hanafiyah, orang
yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka
belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli
warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat,
karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka
dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan
hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau
menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).
D.
Kaidah-kaidah Istishhab dalam Usul Fiqh
Berikut adalah kidah pokok yang populer dan telah
dirumuskan para ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ
لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Maksudnya: apa
yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan
suatu yang meragukan.[4]
Selain
kaidah di atas, terdapat beberapa kaidah lagi mengenai istishab, yaitu:
اَلْاَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
Maksudnya: pada
dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan
dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.[5]
اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ
اَلْاِبَاحَةُ.
Maksudnya: pada dasarnya dalam hal-hal yang
sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.[6]
اَلْاَصْلُ فِى الذِّمَّةِ
اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ.
Maksudnya: pada
dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang
menetapkan tanggung jawab orang yang bersangkutan.[7]
Menurut
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok
itu didasarkan kepada beberapa hadits Nabi, di antaranya adalah:
- Hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ
شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ
مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَ رِيْحًا (الحديث).
Bila salah seorang di antaramu merasakan pada perutnya
sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau
tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium
bau.[8]
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ
فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ
وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ (الحديث).
Apabila salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya
apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang
meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.[9]
III.
SIMPULAN
1.
Istishhab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada
sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
2.
Macam-macam Istishhab
menurut Muhammad Abu Zahroh, yaitu: Istishhab al-Bara`ah
al-Ashliyyah, Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala
Wujudih, Istishhab al-hukmi, Istishhab al-Washfi.
3.
Kedudukan Istishhab
sebagai sumber hukum islam,
a.
Menurut Ulama’
Hanafifay istishhab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang
timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum
semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
b.
Menurut Ulama Mutakallimin istishhab
tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya adil.
c.
Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah, Istishhab bisa menjadi hujjah serta mutlak
untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.
4.
Kaidah-kaidah Istishhab
diantaranya, yaitu: al-yakinu la yuzalu bisysyak, al-ashlu baqou ma kana
‘ala ma kana hatta yatsbuta ma yughoiyyiruhu, al-ashlu fil asyyai al-ibahatu, al-ashlu
fidzdzimmah al-baroah minattakalif wal huquq.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. v, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
A.Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, Cet. VI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar