MENU

Sabtu, 27 April 2013

ISTISHHAB


Oleh : AHMAD WAGITO
Makul : USHULFIQH
AL – ISTISHHAB (الإستصحاب)
I.         PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Istishhab sebagai sumber hukum Islam?
2.      Ada berapakah macam-macam Istishhab itu?
3.      Bagaimana kedudukan (kehujjahan) Istishhab sebagai sumber hukum Islam?
4.      Bagaimana kaidah-kaidah Istishhab dalam ilmu Usul Fiqh?

AL – ISTISHHAB (الإستصحاب)
II.      PEMBAHASAN
A.  Pengertian Istishhab sebagai Sumber Hukum Islam
Istishhab secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil dari استفعال من الصّحبة yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Sedangkan istishhab secara terminologi:
1.      Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan:
استدامة اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
”Tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.“
2.      Imam Asy-Syaukani mengistilahkan:
الاستصحاب هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
”Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna: apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”
3.      Ibnu Hazm membuat definisi ishtishhab:
الاستصحاب هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها على التّغيير
”Tetapnya hukum asal yang ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang merubahnya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa Istishhab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut. Misalnya:
1.    Orang yang telah hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
2.    Seseorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.[1]
B.  Macam-macam Istishhab
Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian:[2]
1.    Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah, dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut: seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
2.    Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih, yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut. Contoh: seperti dalam pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
3.    Istishhab al-hukmi, bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt, berfirman: ”Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…” ( QS. 02:29 ) Maka setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya.
4.    Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna, rasa atau baunya.

C.  Kedudukan Istishhab sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
1.    Ulama Hanafiyah
Menetapkan bahwa istishhab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
Dengan kata lain isthishhab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2.    Ulama mutakallimin (ahli kalam, seperti Hassan Al-Bashri)
Bahwa istishhab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.[3] Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishhab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain.
Istishhab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil, hal ini tidak dibolehkan syara’.
3.    Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah
Bahwa istishhab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya. Alasan mereka adalah sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya.
Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab: Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.  
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).
D.  Kaidah-kaidah Istishhab dalam Usul Fiqh
Berikut adalah kidah pokok yang populer dan telah dirumuskan para ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Maksudnya: apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan suatu yang meragukan.[4]
Selain kaidah di atas, terdapat beberapa kaidah lagi mengenai istishab, yaitu:
اَلْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
Maksudnya: pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.[5]
اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ.
Maksudnya: pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.[6]
اَلْاَصْلُ فِى الذِّمَّةِ اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ.
Maksudnya: pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab orang yang bersangkutan.[7]
 Menurut al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan kepada beberapa hadits Nabi, di antaranya adalah:
  1. Hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَ رِيْحًا (الحديث).
Bila salah seorang di antaramu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.[8]

  1. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ (الحديث).
Apabila salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.[9]


III.   SIMPULAN
1.      Istishhab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
2.      Macam-macam Istishhab menurut Muhammad Abu Zahroh, yaitu: Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah, Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih, Istishhab al-hukmi, Istishhab al-Washfi.
3.      Kedudukan Istishhab sebagai sumber hukum islam,
a.       Menurut Ulama’ Hanafifay istishhab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
b.      Menurut Ulama Mutakallimin istishhab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
c.       Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah, Istishhab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.
4.      Kaidah-kaidah Istishhab diantaranya, yaitu: al-yakinu la yuzalu bisysyak, al-ashlu baqou ma kana ‘ala ma kana hatta yatsbuta ma yughoiyyiruhu, al-ashlu fil asyyai al-ibahatu, al-ashlu fidzdzimmah al-baroah minattakalif wal huquq.

IV.   DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. v, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).

A.Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Cet. VI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).

Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000).

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-’Arabi).


[1] A.Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Cet. vi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Hal. 91-92.
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-’Arabi).
[3] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Hal.155.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. v, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Hal.369-370.
[5] Chaerul Umam, dkk, Op.Cit, Hal.145-146.
[6] Ibid., Hal.146
[7] Ibid., Hal.146-147
[8] Amir Syarifuddin, Op.Cit, Hal.370
[9] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar