Oleh : AHMAD WAGITO
BUYA HAMKA DAN PEMIKIRANNYA
I.
LATAR
BELAKANG
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran
membumi dan bervisi masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita
melihat betapa banyak karya dan buah pikiran Hamka yang turut mewarnai dunia,
khususnya Islam. Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan
bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal
lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti
Hamka.
Makalah yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini
berusaha memberikan gambaran bagaimana biografi Hamka, dan bagaimana pemikiran
dan pengaruhnya terhadap pendidkan Islam. Karena diakui atau tidak, pemikiran
Hamka masih kental kita rasakan dewasa ini.
Pemikiran-pemikiranHamka tersebut didasarkan pada
al-Qur’an dan Hadits yang disertai dengan argument-argumen yang mendukung hal
tersebut. Karena pada hakikatnya al-Qur’an adalah kitab yang akan tetap mampu
menjawab segala persoalan hidup manusia.
II.
BIOGRAFI
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73
tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan
aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah
dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[1]
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak
menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah
Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan
sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab
yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib
di Padang
Panjang.[2]
Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia
berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
A.
Kehidupan
Hamka merupakan cucu dari Tuanku
Kisa-i, mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar
Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya
mendirikan Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Disitu Hamka kemudian mempelajari agama dan
mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling
disukainya. Melalui sebuah perpustakaan yang
dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku
Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan
tersebut, baik buku agama maupun sastra.
Hamka mulai meninggalkan kampung
halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa,
sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang
tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah.
Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak
ke Yogyakarta.
Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk
sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di
kelurahan Ngampilan, Yogyakarta.
Barulah pada tahun 1925,
ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya,
Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Pada tahun 1927, Hamka berangkat
ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji.
Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten
Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk
Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung.
Pada tahun 1950,
Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan
dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu
saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia
dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri,
Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya
meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia
menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang
akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf,
peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.
B.
Karir
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru
agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian
ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai
cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang
Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan
perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah.
Pada tahun 1932 ia
dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi
Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya
sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan
sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia
mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti
pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi
Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan
itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba
menerbitkan majalah
pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama
"Al-Mahdi".
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan
Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan, bersama
M. Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad
Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah
mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah ini untuk pertama kali ia
memperkenalkan nama pena Hamka, melalui
rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya,
baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan
membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya
di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung
antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim,
dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke
Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin
Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan
menghasilkan beberapa karya tulis. Diantaranya : Negara Islam, Islam dan
Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi,
dan dari Lembah Cita-Cita.
Pada tahun1949, Hamka memutuskan
untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta.
Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi
koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa
negara Arab.
Di sana, ia
dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari
kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di
antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil,
dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan
Hidup pada tahun 1951, dan
pada tahun 1952
ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah
setempat.
C.
Politik
Hamka juga aktif di kancah politik
melalui Masyumi. Pada Pemilu 1955,
Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah.
Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak
sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka
menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten
terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan,
terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini
membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.[3] Pada
awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi,
kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir
dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara
ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih
sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama.
Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap
kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU
Perkawinan tahun 1973, dan mengecam
kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal
bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali
fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli
1981, Hamka memutuskan
untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena
fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
D.
Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan,
penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan
beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editormajalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi
dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan
Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris
dan Jerman
seperti Albert Camus,
William James,
Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx,
dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya
ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada
tahun 1928,
Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan
judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang
berbentuk roman,
sejarah, biografi
dan otobiografi,
sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi,
tasawuf,
tafsir,
dan fiqih.
Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya
seperti Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga
menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura.
Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional
maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat
anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya
dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu.[4] Kemudian
pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang
kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73
tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[5] Jasanya
tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara
kelahirannya, bahkan di negara-negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara
seperti Malaysia,
Singapura,
Thailand Selatan, Brunei,
Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.
III.
PEMIKIRAN
Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis
besar adalah sebagai berikut :
1.
Urgensi
Pendidikan Bagi Manusia
Hakekat pendidikan menurut
beliau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : pertama, pendidikan jasmani,
yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa
dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan
fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada
agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk
berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan keduanya adalah melalui pendidikan
karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan
perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.
2.
Terminologi
dan tujuan Pendidikan Islam
Buya
Hamka membedakan makna pendidikan dan
pengajaran, menurutnya pendidikan
merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak,
budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa
membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk. Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[6]
Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya
hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua
kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka
mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya
terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui
proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan
banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Buya
Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan
akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini
dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi
pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian
peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan
lingkungan dimana tempat ia berada.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua
dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut
manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu
segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan
menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.
3.
Tugas Dan
Tanggung Jawab Pendidik
Menurut
Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan
dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak
mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini
ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :
a.
Lembaga
Pendidikan Informal (Keluarga)
b.
Lembaga
Pendidikan Formal (Sekolah)
c.
Lembaga
Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
IV.
ANALISIS
Pendidikan
merupakan proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya
mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut
Islam
memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang
sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik diantara makhluk lainnya.
Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi
lebih jauh dari itu, manusia memilki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua
aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung
bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan
potensi fisik dan psikis, atau dengan kata lain potensi material dan spiritual
tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
Dalam
penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar
dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh
peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Dan
dijelaskan pula bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar,
menengah,dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau
menjadi ahli agama.
Jelaslah bahwa
pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat dapat diterapkan di zaman
sekarang ini, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat Pendidikan Dasar hingga ke tingkat
Pendidikan Tinggi.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Umum. (Yogyakarta : Kanisius, 2008).
Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia.
(Bandung :
Mizan Pustaka, 2009).
Muhammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani, 2006).
Muslim, Ramdani. 72
Tokoh Muslim Indonesia.
(Jakarta :
Restu Illahi, 2005).
Purna, Assep. 101 Kisah Inspiratif. (Jakarta : Gagas Media,
2011).
[1] Herry Muhammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
(Jakarta: Gema
Insani, 2006), hal.60
[2] Prof. Hassan Shadily, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta
: Kanisius, 2008), hal. 4
[3] Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011), hal.208
[4] Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, (Bandung : Mizan Pustaka,
2009), hal. 19
[5] Herry Muhammad, dkk, Op.Cit, hal.60
[6] Ramdani Muslim, 72 Tokoh
Muslim Indonesia, (Jakarta
: Restu Illahi, 2005), hal.265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar