MENU

Sabtu, 27 April 2013

STUDI TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM BUYA HAMKA DAN PEMIKIRANNYA


Oleh : AHMAD WAGITO
BUYA HAMKA DAN PEMIKIRANNYA
I.       LATAR BELAKANG
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak karya dan buah pikiran Hamka yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam. Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka.
Makalah yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran bagaimana biografi Hamka, dan bagaimana pemikiran dan pengaruhnya terhadap pendidkan Islam. Karena diakui atau tidak, pemikiran Hamka masih kental kita rasakan dewasa ini.
Pemikiran-pemikiranHamka tersebut didasarkan pada al-Qur’an dan Hadits yang disertai dengan argument-argumen yang mendukung hal tersebut. Karena pada hakikatnya al-Qur’an adalah kitab yang akan tetap mampu menjawab segala persoalan hidup manusia.
II.    BIOGRAFI
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di ManinjauTanjung RayaKabupaten Agam, Sumatera Barat17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[1]
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang.[2] Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

A.    Kehidupan
Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisa-i, mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Disitu Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling disukainya. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di PekalonganJawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan NgampilanYogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batangkabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.
B.     Karir
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke BagansiapiapiLabuhan BilikMedan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke MakassarSulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi SelatanSyeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama "Al-Mahdi".
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan, bersama M. Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka, melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti NatsirHattaAgus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Diantaranya : Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan dari Lembah Cita-Cita.
Pada tahun1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1951, dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah setempat.
C.    Politik
Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.[3] Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
D.    Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editormajalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul SartreKarl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu.[4] Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[5] Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara-negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.

III. PEMIKIRAN
Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.      Urgensi Pendidikan Bagi Manusia
Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.
2.      Terminologi dan tujuan Pendidikan Islam
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[6]
Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Buya Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan dimana tempat ia berada.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.
3.      Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :
a.       Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
b.      Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)
c.       Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
IV. ANALISIS
Pendidikan merupakan proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut
Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memilki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis, atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Dan dijelaskan pula bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah,dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama.
Jelaslah bahwa pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat dapat diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat Pendidikan Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi.

V.    DAFTAR PUSTAKA
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Umum. (Yogyakarta : Kanisius, 2008).

Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. (Bandung : Mizan Pustaka, 2009).

Muhammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006).

Muslim, Ramdani. 72 Tokoh Muslim Indonesia. (Jakarta : Restu Illahi, 2005).

Purna, Assep. 101 Kisah Inspiratif. (Jakarta : Gagas Media, 2011).

[1] Herry Muhammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal.60
[2] Prof. Hassan Shadily, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta : Kanisius, 2008), hal. 4
[3] Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011), hal.208
[4] Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, (Bandung : Mizan Pustaka, 2009), hal. 19
[5] Herry Muhammad, dkk, Op.Cit, hal.60
[6] Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Illahi, 2005), hal.265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar