OLEH : AHMAD WAGITO
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada zaman dahulu
ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap
penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal
yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan
gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat
kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk
halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit
berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan
kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat
dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode
pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan
penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri
atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis, tetapi
ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi
secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil-baksil,
namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan
dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut
diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk
kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas
boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan
antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini
menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh
gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan
penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara faktor mental yang diidentifikasikan sebagai
potensial dapat menimbulakan gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal
ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit
mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan
medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan
pendekatan agama.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Sejauh
manakah agama memiliki hubungan dengan kesehatan mental?
2.
Apa
sajakah kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental?
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba,
agama adalah cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai
emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah
hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk
atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis
(penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
Mental yang sehat tidak akan mudah
terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental
sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya
sendiri dan lingkungannya. Ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah
Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari
lingkungannya.
B.
Manusia
dan Agama
Psikologi agama merupakan salah satu
bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam
kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal
itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan
pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam
beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis
mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia
sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk
rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara psikologis, agama adalah ilusi
manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi
bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku
manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar bahaya dan dapat
memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam
pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut
Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai
isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan
menjadi faktor
penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga
keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan
masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan
ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku keagamaan menurut pandangan
Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and
punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman
dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara
mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah
diinformasikan oleh Alquran yang pada
surat Ar-Ruum
ayat: 30, yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya
(Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah.
Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau
ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak
beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]
C.
Kesehatan
Mental dan Gangguan Mental
Pada abad 17 kondisi suatu pasien
yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada
abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit
dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan
manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental
(Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik
(Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan
mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam
teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler,
pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di
dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan
hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya
hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep
kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak
hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi
dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi
masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama
dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan
kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin
untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek
kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan
karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh
aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan
gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama,
bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal
ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon
Politicon.
Gangguan mental dapat dikatakan
sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan
maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan
mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya
pada ketidak wajaran dalam berperilaku. Hal ini sesuai dengan Al-Quran : (QS.
Al-Baqoroh ayat 10), yang artinya: Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
Adapun gangguan mental yang
dijelaskan oleh A.Scott, meliputi beberapa hal:
1.
Salah
dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya
bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2.
Ketidak
bahagiaan secara subyektif
3.
Kegagalan
beradaptasi dengan lingkungan
4.
Sebagian
penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun
ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam
beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan
mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif
lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks
sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada
tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi
individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
D.
Agama
dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin
karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun
lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali
dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini karena manusia
ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada zat
yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia, dalam psikologi
kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka
tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan.
Kesehatan mental (mental hygiene)
adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan
serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat
mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa
tenang, aman dan tenteram.
Menurut H.C.Witherington,
permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang
terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi,
dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran
dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan
(soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau
buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa
menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antara lain dengan
menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum),
electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat),
dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum
(accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak berkembang psikoanalisis yang
diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan
hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula
adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang
dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan
istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan
pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan
untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus
tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya
hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya
sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel
Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang
penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.[7]
Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama
ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan
agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama
telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science,
kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan
pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama
(pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama.
Sejak abad ke-7 hijriyah, Ibn Al-Qayyim
Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak
dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat
memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan
diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut
bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan
seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan
antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai
keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah
yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga
muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses,
merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian
menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya,
sehat jasmani dan ruhani.
E.
Terapi
Agama pada Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental, dalam islam sudah
ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas
tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah :
1. (QS An Nahl :97), artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan.
2.
(QS Ar
Ra’ad 13:28), artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.
Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi
yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana
kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam
doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi
ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.[8]
III. SIMPULAN
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari
keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri
terhadap lingkungan sosial). Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia
dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan introspeksi atas segala hal
yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya
sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena
faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan
masing-masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia
diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya
karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya
dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap
penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga
akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan
mental dapat kita tarik kesimpulan:
1.
Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai
sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
2.
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
3.
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara
agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap
pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang
sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas,
sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang
demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah
kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Hawari, Dadang. Alquran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, 2005 (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Jasa).
Sururin. Ilmu Jiwa Agama, 2004 (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada).
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007).
www.archiv.com./agama kunci kesehatan, diakses tanggal 22 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar